Senin, 31 Mei 2010

KESATUAN ISLAM

Kesatuan islam merupakan kesamaan dalam bertauhid dan ketakwaan yakni kepada Allah SWT tanpa menyekutukanNya dengan cara merajuk pada pedoman kehidupan, yaitu al quran dan as sunnah yang dibawa oleh rasul terakhir yakni Muhammad SAW. Namun demikian, pemahaman dan sudut pandang umat tentunya berbeda antara satu samalainnya. Haltersebut sangat dimaklumi dikarenakan merupakan fitrah manusia itu sendiri yang dikaruniai akal pikiran. Pemakluman tersebut tentunya memiliki batasan agar tidak tersesat dalam hawa nafsu sendiri.

Sebelumnya Rasulullah telah menyadari akan hal perbedaan yang akan terjadi pada umatnya, namun demikian dalam sabdanya, “ perbedaan dalam umat kami (Islam) adalah rahmat”. Hal tersebut tentunya menjadi rahmat ketika berdampak kebaikan bagi semua umat.

Masyarakat Islam diwarnai oleh pemikiran dan pemahaman yang menentukan pandangannya terhadap segala persoalan, peristiwa, tingkah laku seseorang, nilai dan hubungan. Masyarakat Islam menentukan ini semuanya dari sudut pandang Islam, mereka tidak mengambil hukum kecuali dari sumber referensi Islam yang bersih dan jernih dari kotoran-kotoran dan penambahan-penambahan, sebagai akibat dari rusaknya zaman. Sumber yang bersih itulah yang mampu menangkal pemikiran yang ekstrim dan pemikiran yang cenderung kendor, penyimpangan orang-orang yang membuat kebatilan dan penakwilan orang-orang yang bodoh.

Islam sangat memperhatikannya untuk meluruskan pemahaman pengikutnya, sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi lurus dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus.

Oleh karena itu Al Qur'an dan As-Sunnah selalu meluruskan pemahaman-pemahaman yang menyimpang, pemikiran-pemikiran keliru yang tersebar di masyarakat.

Telah masyhur di kalangan Ahli Kitab dari kalangan orang-orang Yahudi bahwa kebajikan dan ketaqwaan itu tergantung pada sejauh mana perhatian seseorang terhadap bentuk-bentuk (simbol) tertentu. Oleh karena itu mereka merasa heran ketika melihat Rasulullah SAW mengubah arah kiblatnya dari Baitul Maqdis ke Ka'bah. Kernudian Al Qur'an turun menjelaskan hakekat kebajikan dan ketaqwaan serta agama yang benar.[1]

Artinya:

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya bila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (Al Baqarah: 177)

Pemikiran Islam pemahaman dan persepsinya yang bersih itulah satu-satunya yang bisa mewarnai masyarakat Islam dan menguasai fikiran orang-orangnya, yang mengarahkan moral dan seninya, ilmu dan mass medianya dan yang mengarahkan pendidikan dan pengajarannya.

Yakni konsep dan pandangan Islam yang jelas tentang manusia, kehidupan dan dunia, harta kekayaan dan kemiskinan, agama, kebajikan dan ketakwaan, keadilan dan kebaikan, kemajuan dan kemunduran, modern dan primitif, zuhud dan qanaah (menerima), sabar dan ridha.

Demikian itu karena konsep pemikiran Islam telah diambil dari sumber ilahi yang terpelihara.[2]

Artinya:

"Itulah kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan, dan Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Hud: 1)

Dan Sunnah Rasulullah SAW yang beliau tidak berbicara dari hawa nafsunya.[3]

Artinya:

"Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya." (An-Najm: 4)

Karena itulah maka hanya pemikiran (Islam) inilah yang mencakup semua bidang kehidupan, mendalam dan seimbang dalam menentukan ukuran dari segala sesuatu dan keterkaitan hubungan satu sama lain.

Itulah pemikiran yang tawazun dan tengah-tengah (adil) yang menganggap dunia sebagai mazra'atul akhirah (ladang akhirat) dan sebagai jalan/tangga menuju perkampungan yang kekal. Jalan itu haruslah nyaman dan indah dengan pohon-pohon yang rindang, sehingga memudahkan bagi orang-orang yang melewatinya.

Bukanlah pandangan Islam tentang kehidupan dunia itu pandangan pesimis yang mengatakan bahwa kehidupan itu laknat (kejam); sesungguhnya alam itu jahat dan harus segera hancur; dengan mengisolir diri atau tidak mau menikah selamanya dan tidak mau segala yang baik-baik. Sebagaimana dalam aliran AlManawi di Paris dan sebagaimana biasa dilakukan para pendeta Nasrani dan orang-orang miskin dalam agama Hindu.

Pemikiran Islam tentang manusia adalah pemikiran yang seimbang dan lurus yang memandang manusia sebagai makhluk yang mulia (dimuliakan), yang memiliki tabiat yang berbeda-beda. Ia terdiri dari jasmani dan ruhani, atau ia merupakan ruh yang bertempat dalam sosok tubuh. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:

Artinya:

"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah, maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya Ruh (ciptaanKu); maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya." (Shad: 71-72)

Syari'at (hukum) Islam itulah yang menentukan seluruh perilaku orang-orang makallaf ('aqil baligh). Tidak ada satu pun ucapan atau perbuatan keluar dari kekuasaan hukum. Maka setiap aktivitas yang keluar/muncul dari seorang mukallaf harus ditentukan hukumnya oleh syari'at, apakah itu wajib, sunnah, haram, makruh atau mubah. Tugas syari'at adalah mengeluarkan seorang mukallaf dari mengikuti kemauan hawa nafsunya, untuk terikat dengan hukum-hukum Allah.

Sumber ajaran Islam (syari'at) telah menjamin dengan sempurna untuk mengatasi segala peristiwa dan kasus yang terjadi pada manusia, sesuai dengan kaidah-kaidah dan nash-nash, Allah SWT berfirman:

Artinya:

"Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (An-Nahl: 89)

Penerapan Islam di masa Rasulullah telah membuktikan kebenaran pemikiran itu. Rasulullah SAW telah menyampaikan wahyu dari Allah, beliaulah yang melaksanakan perintah agama ini, beliau juga sebagai Imamul Muslimin dan pemimpin negara, selaku qadhi (yang memutuskan) dalam perselisihan mereka, dan dia tidak disertai seorang raja atau hakim yang mengatur urusan politik.

Para khalifah setelah Rasulullah SAW juga menjadi imam bagi kaum Muslimin baik dalam shalat atau dalam idaroh dan siyasah, demikian juga para khalifah setelah mereka yaitu dari Bani Umayah dan 'Abbaslyah. Oleh karena itu para ulama mendefinisikan khilafah sebagai berikut: "Pengganti secara umum terhadap Rasulullah SAW dalam hal memelihara agama dan mengatur dunia dengannya."

Inilah pemahaman yang benar tentang 'Dien' yang harus berlaku dan berkembang di dalam masyarakat Islam, sehingga setelah itu dapat mengembalikan setiap Muslim kepada agamanya yang ia cintai, yang ia yakini dan yang diridhai oleh Allah SWT untuknya, dan ia rela untuk dirinya, dan setelah itu bisa mengukur setiap anggapan dan pemahaman, perkataan dan perbuatan dengan standar agama yang tidak pernah salah, menyesatkan atau melupakan.

Pada hakikatnya islam itu satu dan persatuan yang berkordinat semuanya kepada Tuhan atau pentauhidan kepada Allah dengan pedoman al quran dan assunah yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad saw sebagai rasul terakhir. Adapun pemahaman atau penafiran tentang semuanya dalam bentuk keanekaragaman itulah biasa dan merupakan sunatullah.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (QS.3:110)

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. 5:2)

B. KERAGAMAN ISLAM

Diantara mereka yang tidak memahami secara integral hakekat keragaman jamaah-jamaah Islam memberikan sikap-sikap reaktif yang semakin memperburuk situasi dan kondisi. Banyak di antara para pemuda Islam memandang bahwa keragaman jamaah-jamaah Islam yang sedang bejalan dalam medan amal Islami adalah sebuah hambatan terbesar dalam merealisasikan harapan dan impian ini, sebab mungkinkah akan muncul kesatuan amal Islami di tengah realitas keragaman organisasi dan jamaah-jamaah yang ada saat ini.

Ketidak percayaan dan rasa bingung yang sedang menimpa sebagian pemuda Islam ini persis yang di alami kalangan pemuda Islam di masa lalu yang memahami dengan keliru realitas keragaman mazhab-mazhab dalam fikih Islam serta madrasah-madrasah ilmu yang berkembang dalam kehidupan ummat Islam sepanjang sejarah. Seraya mereka berkata: bagaimana mungkin muncul mazhab-mazhab fikih dan beragam pendapat dalam sebuah masalah syariah yang satu sedang agama kita adalah satu, Alquran kita satu dan sunnah Nabi kita juga satu.

Akhirnya, kerancuan dan kesalahpahaman ini senantiasa berlangsung dan menyita pikiran sebagian kaum muslimin, yang berdampak pada sikap-sikap mereka di hadapan realitas mazhab-mazhab fikih dan para pendirinya, hingga Allah mengirim pada Ahli Ilmu pada setiap masa, baik di masa lalu maupun di masa kini, mereka yang menjelaskan hakekat keragaman dan perbedaan ilmiyah ini, menjelaskan sebab-sebabnya serta menghilangkan kerancuan dan kesalah pahaman yang ada. Dan lingkup ini adalah masalah keragaman medan-medan amal dan jamaah Islam.

1. Sebab-Sebab Keragaman Islam Dan Perkembangannya

Jika kita renungkan dengan mendalam sebab munculnya keragaman jamaah-jamaah Islam adalah kembali pada perbedaan manhaj-manhaj para du’at dan metode pendekatan mereka dalam medan amal Islam setelah mereka mengerahkan segenap kemampuan dalam meletakan manhaj yang sesuai dan mengambil metode dalam dakwah mereka yang akan menyampaikan kepada tujuan secara lebih efektif, tentunya dalam koridor nash-nash syar’i dan kemaslahatan yang melingkupinya

Keragaman ijtihad mereka dalam kesatuan agama, Alquran dan sunnah seperti keragamaan manhaj para nabi.

“Mazhab-mazhab, jalan-jalan (yang ditempuh oleh ulama-pent), dan strategi yang dipilih oleh para ulama, para masyasyikh dan para pemimpin, apabila mereka berkehendak mencari keridhaan Allah dan bukan hawa nafsu, agar mereka berpegang kepada millah dan agama yang tersimpul dalam rangka mengabdikan kepada Allah semata dan tidak mensyirikannya, mengikuti apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka dalam Kitab dan sunnah, dari satu sisi seperti kedudukan syariat dan manhaj para nabi, mereka akan dibalas karena tujuan mereka mencari keridhaan Allah dan beribadah kepadaNya semata, serta tidak mempersekutukanNya dan itulah agama yang sempurna, sebagaimana para nabi dibalas atas pengabdian mereka kepada Allah semata dan tidak mensyirikkanya, dan akan dibalas (para ulama dan masyayikh) atas ketaatan kepada Allah dan RasulNya dalam apa yang mereka pegang teguh, sebagaimana setiap nabi dibalas atas ketaatan mereka kepada Allah dalam syariat dan manhajnya.

Maka kewajiban atas setiap muslim pada setiap posisi adalah menghadapkan wajahnya hanya Kepada Allah semata, senantiasa menjaga keislamannya, menyerahkan wajahnya yakni mengikhlaskan dirinya hanya kepada Allah, memperbaiki perbuatanya yang baik, maka renungkanlah ini, karena ia adalah sebuah dasar yang sempurna yang bermanfaat lagi agung.

Secara garis besar, sebab-sebab dan hakikat keragaman pemahaman tentang islam dapat dikategorikan menjadi tiga:

1. Tabiat nash-nash syar’i yang multipretatif, keragaman pandangan dan ijtihad manusia dalam memahami uslub dan metoda dakwah dalam amal Islami yang digali dari nash-nash syariat dan dari sirah Rasul SAW dan sirah Khulafaurrasyidin semoga Allah meridhai semua.

Jika kita lebih dalam melihat tentang sebab ini, maka kita melihat bahwa keluasan sirah Nabi SAW dan sirah Khulafaur Rasyidin karena keragaman pandangan dan ijtihad, jauh lebih luas dari keluasan nash-nash yang bersumber dari hukum-hukum syariah.

Disana kadang ditemukan sebuah kondisi yang sebagian melihatnya sebagai sebuah kebijakan Imam dan strategi politik, pada saat mana yang lain memandang sebagai sebuah tabligh dan Fatwa, yang lain memandang sebagai sebuah kebijakan Qadhi dan Mufti menurut pemahaman yang dicapai oleh seorang Alim dan mujtahid, sebagaimana kami telah jelaskannya pada tulisan kami yang bertema: “Al Ashalah Wal Mu’ashirah Khashshiyatani min Khashaishid Dakwah Islamiyah” (Orisinalitas dan kemoderenan adalah dua keistimewaan dari keistimewaan dakwah Islam).

Karena seperti sebab-sebab inilah, keragaman manhaj ilmiyah dikalangan ulama salaf kita muncul, ada diantara mereka yang berpegang kepada Atsar dan sedikit menggunakan akal, hingga menjadi dua madrasah besar yakni Madrasah Ahlul Hadits dan Madrasah Ahlur Ra’yi (logika), pada madrasah pertama seperti sahabat Abdullah ibnu Umar – semoga Allah meridhai keduanya - hingga kemudian muncul dalam kepribadian Imam Malik bin Anas – semoga Allah merahmatinya - yakni Imam Kota hijrah. Dan tokoh terkemuka pada madrasah lain – yakni madrasah Ahlul Ra’yi - sahabat sekaliber Umar bin Khattab dan Abdullah ibnu Mas’ud, yang kemudian tampil pada sosok Imam Abu Hanifah – semoga Allah merahmatinya

Karena hal-hal seperti inilah, terjadi keragaman sikap para salafus shaleh kita - semoga Allah merahmati mereka semua - dalam mengambil ketentuan fikih yang bersifat pasti maupun nisbi, di antara mereka ada yang mengambilnya dan bahkan sangat luas dalam membahasnya, namun ada juga yang menolaknya dan bersifat lebih hati-hati dan masing-masing memberikan dalil-dalil baik yang bersifat naqli maupun Aqli

Seperti ini juga, keragaman manhaj para ulama salaf kita dalam membuka peluang seluas-luasnya dan mempersempit peluang dalam mengambil pokok-pokok bahasan dan memanfaatkan hal-hal yang baik, di antara mereka ada yang memperluas dan sebagian yang lain mempersempit, dan masing-masing memberikan argumentasi terhadap manhajnya baik naqli maupun aqli

Dan contoh-contoh yang lain yang selalu muncul keragaman manhaj kaum muslimin baik pada tempo dulu maupun kontemporer yang meliputi seluruh sisi kehidupan kaum muslimin baik yang umum maupun yang khusus.

2. Diantara sebab yang melahirkan beragamnya manhaj dakwah kaum muslimin hari ini adalah hilangnya kesatuan politik di lapangan medan dakwah yang tercermin dalam khilafah Islam yang menjadi menjaga kepentingan ummat, mensinergikan beragam potensi dan menghilangkan perbedaan.

3. Diantara sebab yang melahirkan munculnya keragaman ini adalah: Keinginan besar dari para pelaku dakwah di lapangan dalam mengumpulkan jumlah yang besar dari kaum muslimin dalam sebuah amal Islami demi menjaga eksistensi keberadaan kaum muslimin dari makar-makar musuh-musuhnya serta agar lebih memusatkan perhatian segenap potensi ummat untuk merealisasikan tujuan bersama.

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri, beragamnya kecenderungan dan tempat pengambilan sumber kaum muslimin serta aneka pendapat dan ijtihad di kalangan mereka tidak memungkinkan dapat diakomodir dan dikelola oleh sebuah tandzim (menejemen dakwah) yang satu atau kepemimpinan yang satu, terlebih saat hilangnya jamaah yang dapat diakui kesempurnaannya oleh semua kalangan, yang dapat menjadi pengayom ketika berada di bawah panji-panjinya, serta tidak lagi membutuhkan kelompok dan perkumpulan-perkumpulan yang lain dengan keberadaanya.

Jika kaum muslimin pada waktu yang lalu telah dikaruniakan taufiq Allah SWT akan keberadaan para ulama dan du’at yang benar lagi jujur, yang dengan keikhlasan, jerih payah dan kesadaran mereka sanggup mendekatkan antara manhaj (metodologi dan pendekatan) Ahli Hadits dan Ahli Ra’yu (logika), sebagaimana yang telah dilakukan oleh Al Imam Syafi’i – Rahimahullah- dan yang lainnya.

2. Menyikapi Keragaman Pemahaman Islam

Perbedaan pemahaman dalam Islam sebaiknya disikapi dengan tasaamuh. Sikap ini ada baiknya kita belajar dari para imam mujtahid yang tak perlu diragukan kepakarannya dalam mengantisipasi terjadinya keragaman pemahaman agama. Sebagai contoh, Imam Syafi’i berkata, “Apabila hadits itu sahih, itulah madzhabku dan buanglah pendapatku yang timbul dari ijtihadku”. Demikian pula Imam Abu Hanifah menyatakan, “Ini adalah pendapatku terbaik yang kami temukan, dan bila ada orang lain yang bisa menemukan yang lebih baik lagi, maka ikutilah dia”. Pernyataan-pernyataan tulus tersebut merupakan cerminan kebesaran jiwa dan kesadaran mereka berkaitan dengan peran yang harus dimainkan. Secara terang mereka membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang akan mengkritisi hasil ijtihadnya.

Biasanya sumber masalah kekisruhan muncul dari para pengikut setia tokoh-tokoh agama yang diidolakan. Kesetiaan ini terkadang melampaui batas, yaitu sampai pada derajat pengultusan, sehingga sikap keberagamaan yang harusnya mengedepankan keselamatan dalam damai menjadi kabur. Tujuan syari’ah yang mestinya menciptakan kesehatan akal bisa jadi dilupakan karena alasan-alasan yang justru tidak masuk akal. Karena itu, mari kita ciptakan suasana berislam yang toleran dan menyelamatkan umat dari kesalahpahaman dalam memahami agama.

Salah satu isu menarik dalam sikap keberagamaan kaum Muslim adalah pluralisme. Yakni keragaman pemahaman terhadap teks-teks agama yang diakibatkan oleh cara menafsirkan teks tersebut. Keragaman penafsiran muncul disebabkan oleh latar belakang memahami teks yang bermacam-macam, misalnya disebabkan oleh kedalaman pengetahuan, kondisi sosial budaya setempat, garis madzhab rujukan, jiwa dari teks itu sendiri dan sebagainya. Di atas semuanya itu, hal yang perlu diacungi jempol adalah manakala perbedaan-perbedaan ini direspon dengan kebesaran jiwa masing-masing pihak dengan mengedepankan penghargaan terhadap pihak lain yang tak sejalan dengan pemahaman pihaknya. Sesungguhnya isu pluralisme mengandung pengertian yang merentang sejak pluralitas di kalangan kaum Muslim sendiri dalam memahami Islam sampai pluralitas keragaman agama di dalam masyarakat luas. Dalam tulisan ini, pluralisme lebih ditujukan kepada kondisi warna pelangi dalam memahami Islam terutama pada kajian syari’ah oleh internal kaum Muslim sendiri.

Bibit-bibit pluralisme dalam menerjemahkan Islam telah nampak sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Tak jarang dua orang atau lebih sahabat mempunyai pandangan berbeda terhadap satu teks suci wahyu. Misalnya – seperti diriwayatkan Imam Abu Dawud – dua orang sahabat mempunyai sikap berlainan sehubungan dengan ibadah shalat saat didapatinya air padahal sebelumnya sudah ditunaikan dengan bertayammum, karena ketiadaan air waktu itu. Pada mulanya kedua sahabat tersebut sepakat bahwa pengganti wudlu adalah bertayammum. Setelah selesai shalat ternyata mereka mendapati air, perbedaan mulai muncul. Sahabat yang satu berwudlu dan mengulangi shalatnya, tapi yang lainnya tidak melakukan hal serupa. Kemudian keduanya melaporkan hal tersebut kepada Nabi SAW. Secara bijak beliau merespon dengan sikap tidak menyalahkan salah satu pihak tidak pula menyanjung pihak lainnya. Beliau malah menyebutkan kelebihan masing-masingnya. Yaitu, bagi yang mengulangi shalat dikatakan telah memperoleh dua keutamaan sedang bagi yang tidak mengulangi telah berpegang pada sunnah dan shalatnya telah mencukupi. Di sini kelihatan bahwa tradisi berbeda paham dan saling menghargai perbedaan tersebut telah demikian dijunjung tinggi sejak awal-awal kelahiran Islam.

Jika ditilik dari proses pewahyuan, diyakini bahwa wahyu datang dari Dzat yang Transenden diturunkan untuk makhluk yang immanen. Maksudnya wahyu bernilai benar secara mutlak manakala dikaitkan dengan Dzat yang Transenden yakni Tuhan SWT, namun menjadi benar secara relatif jika sudah dicerna oleh manusia yang immanen. Karena itu, sangat wajar satu teks suci Al-Qur’an diejawantahkan dalam tataran wacana, praktek, dan bahasa yang beragam oleh kaum. Dalam hal ini, penafsir atau mujtahid dapat mengklaim bahwa hasil ijtihadnya telah benar, namun pada saat yang sama, tidak etis kalau menyalahkan hasil ijtihad orang lain untuk bidang bahasan yang sama. Apabila dia seperti itu sama saja dengan mendudukkan dirinya seperti posisi Tuhan Yang Mahamutlak dalam firman-Nya (QS 3:60). Hal ini akan meruntuhkan bangunan Islam yang kaya dengan dorongan-dorongan ke arah olah fikir tersebut. Keuniversalan Islam akan sirna jika lahan untuk menggumuli kondisi kontemporer umat dihabisi oleh mujtahid-mujtahid tandingan Tuhan ini. Nyawa Islam akan kehabisan energi karena tidak mampu membuktikan dirinya sebagai rahmat bagi sekalian alam.

Sejak dulu, tradisi ijtihad memperoleh tempat terhormat di lingkungan komunitas Muslim. Misalnya pernyataan Nabi SAW bahwa seseorang yang berijtihad dan ternyata benar maka dia akan mendapat dua ganjaran. Sebaliknya jika ijtihadnya salah, dia hanya akan memperoleh satu ganjaran. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah benar salahnya ijtihad. Siapa yang menilai benar tidaknya ijtihad dan kapan akan diketahuinya? Tak ada penjelasan eksplisit dari Nabi mengenai hal ini. Namun contoh ini merupakan penjelas tentang sifat universalitas Islam yang dapat ‘hinggap’ di mana, kapan dan bagi siapa saja. Sarana ijtihad menjadikan Islam sebagai agama yang dapat memberi jalan bagi terciptanya kelangsungan hidup manusia dalam membentuk lingkungan yang dinamis dan rabbaaniy. Dorongan untuk selalu menjadikan Islam tetap aktual setiap masa merupakan keniscayaan karena warta Al-Qur’an sendiri menjamin hal itu (QS 15:9). Demikian pula sunnah telah menyatakan hal yang sama, yaitu “Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini pada setiap awal seratus tahun (satu abad) seseorang yang memperbaharui agamanya (mujaddid). Mereka adalah kader-kader Allah yang terus dilahirkan secara berkesinambungan untuk membela agama-Nya.

Bahwa kemudian hasil olah fikir lewat ijtihad ini tidak selalu benar dan tidak selalu salah adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Allah telah jauh-jauh hari memaklumkan hal ini. Akibatnya akan terlalu naif jika terjadi saling mencaci sesama ‘mujtahid’ hanya karena berbeda dalam menakar satu teks suci akibat acuan yang digunakan berbeda atau kesimpulan yang dihasilkan berlainan. Bahkan Allah pun akan selalu memberikan ganjaran bagi siapa saja yang berijtihad terlepas hasilnya benar atau tidak, ini merupakan isyarat relativitas sifat benar hasil ijtihad itu sendiri. Artinya, klaim benar tersebut harus dikaitkan dengan sejumlah pra kondisi; siapa yang melakukan ijtihad tersebut, di mana dia melakukannya, peristiwa apa yang melatarbelakanginya, kapan hal itu terjadi dan sebagainya. Allah tidak meminta manusia mencapai kemutlakan-Nya, namun Allah akan menilai pada usaha manusia menggapai kebenaran dalam bingkai inspirasi-Nya. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dari hasil suatu ijtihad. Konsekuensinya, seseorang yang mencoba berijtihad jangan menutup diri dari kemungkinan salah dan jangan memicingkan mata pada hasil ijtihad orang lain. Dan yang paling penting, jangan memutlakkan hasil ijtihad tersebut sehingga ‘menutup pintu’ bagi mujtahid-mujtahid lain di belakang hari.

Fenomena yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini banyak bertolak belakang dengan semangat aktualisasi Islam. Banyak hasil ijtihad masa lalu yang ‘dikeramatkan’ sehingga dianggap tabu jika diperbaharui dengan ijtihad kontemporer. Bahwa ada sejumlah persyaratan untuk mencapai tingkat mujtahid, yang menurut kalangan para ahli hukum Islam harus dipenuhi, adalah hal yang wajar dan seharusnya demikian. Namun hal ini tidak boleh menutup kemungkinan dilakukannya ijtihad-ijtihad baru demi merespon perubahan waktu dan ruang yang kian kencang bergulir. Islam ibarat perangkat lunaknya mesin komputer kehidupan dunia yang memberi nyawa kesegaran sehingga mesin tersebut selalu dapat beroperasi serasi dan mampu menjawab kekiniannya. Manakala perangkat ini mandeg, maka dapat dibayangkan akibatnya yakni tertundanya peluang-peluang emas kedigjayaan peradaban Islam dan merajalelanya penyusup-penyusup perangkat gelap.

Syekh Muhammad Abduh pernah mensinyalir bahwa kegemilangan Islam dihalangi oleh kaum Muslim sendiri. Ini sangat erat kaitannya dengan kondisi dunia Islam mutakhir yang nampak ‘kurang darah’ dan tak berdaya berhadapan dengan tantangan-tantangan perubahan zaman. Padahal di satu sisi, teks-teks wahyu maupun ucapan Nabi SAW mengisyaratkan bahwa Islam merupakan piranti hidup yang unggul (QS 48:28). Tentu saja keunggulan ini tidak dapat tampil begitu saja tanpa peran serta kaum Muslimnya. Dengan kata lain, keunggulan konsep Islam baru berwujud apabila dibarengi gerak langkah kaum Muslim yang selalu menyatupadukan nafas hidupnya dengan Islam. Jelasnya, pergaulan mereka dengan Islam tidak boleh sebatas kebutuhan formal beragama saja tapi juga pada pembentukan paradigma berpikir dan bertindak. Hal ini berarti pula bahwa tradisi Islam yang selalu membuka diri terhadap perubahan lingkungan, juga harus menjadi jiwa kaum Muslim sehingga selaras antara keduanya. Pada gilirannya nanti, Islam tidak berhenti pada tataran konsep namun mampu berbicara pada tingkat realitas. Islam tidak sekedar menjembatani kepentingan manusia akan Tuhannya, tapi juga menjadi wahana kehidupan kini di alam syahadah.

Kesimpulan

Islam merupakan agama yang disatukan oleh pedoman yang berupa Al quran dan As sunah yang di bawa oleh Rasul terakhir yakni Muhammad SAW. Serta beribadah hanya kepada Allah semata tanpa ada pihak lain yang disamakan atau yang dijadikan sekutuNya. Itulah kesatuan islam. Adapun tentang perbedaan merupakan sebuah pandangan atau penafsiran yang timbul dari umat yang tentunya memiliki akal dan pemikiran tersendiri. Hal itu dibolehkan dengan sarat perbedaan itu berlatarbelakang atau berpedoman pada Al quran dan As sunnah. Adapun diluar itu adalah kesesatan semata.

Perbedaan persepsi tentang islam adalah hal biasa, dikarenakan manusia dianugrahi akal dan pikiran oleh Allah agar umat manusia menjadi ulil albab terhadap apa yang Allah ciptakan sehingga mensyukuri segala kenikmaatan yang telah diberikanNya selama ini.

Perbedaan juga merupakan rahmat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW bahwa “perbedaan diantara umatku adalah rahmat”. Hal tersebut menunjukan dimaklumi terjadinya perbedaan tersebut, dengan alasan menjadi rahmat bukan menjadi permusuhan dan perselisihan.

DAFTAR PUSTAKA

Yusuf Qardawi, System masyarakat islam dalam Al Quran dan As Sunnah,Mizan, Bandung, 1998.

H. Abudin Nata, Peta Perkembangan Islam di Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2001.

A. Aripudin, Syukriadi Sambas, Dakwah DAmai Pengantar Dakwah Antar Budaya, Rosdakarya, Bandung, 2007.

Din-din Aripudin, Kesatuan Islam Dalam Perbedaan, Mizan, Bandung, 2006.

Hamzah Amien, Islam Perspektif, Mizan, Bandung, 2008.



[1] . (Q.S Al Baqarah: 177)

[2] . (Q.S Hud: 1)

[3] . (An-Najm: 4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar